BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dalam
rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan
otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah,
Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya
dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34 Tahun 2000
dan UU No.18 Tahun 1997. UU No.28 Tahun 2009 yang baru-baru ini disahkan
oleh Pemerintah diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan
kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak
daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah
yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga
terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya
pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif.
Perubahan
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah
yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah Nomor 28 Tahun 2009 selain menambah jenis pajak daerah, juga
dikembangkan dalam perluasan basis pajak. Perubahan tersebut salah
satunya mengakibatkan perubahan tarif Pajak Hiburan. Tiga kelompok tarif
pajak hiburan yang diperkenankan bagi pemerintah kabupaten/kota sebagai
berikut: Pertama, tarif maksimal 35% (tiga puluh lima persen), antara
lain untuk pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, dan tontonan film. Kedua,
tarif maksimal 10% (sepuluh persen) khusus untuk hiburan kesenian
rakyat dan tradisional. Ketiga, bertarif maksimal 75% (tujuh puluh lima
persen), yakni untuk permainan ketangkasan, diskotek, klab malam,
karaoke, mandi uap, panti pijat, pagelaran busana, dan kontes
kecantikan.
I.2 Pembatasan Permasalahan
Makalah ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Apa tujuan kenaikan tarif Pajak Hiburan?
b. Apa saja tantangan yang akan dihadapi dalam penerapan tarif Pajak Hiburan yang baru?
I.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang diharapkan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2. Untuk mengetahui apa tujuan kenaikan tarif Pajak Hiburan
3. Untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi dalam penerapan tarif Pajak Hiburan yang baru.
I.4 Metode Penulisan
Metode
penulisan yang digunakan oleh Penulis adalah studi kepustakaan yaitu
mengumpulkan data dengan menelusuri dan mempelajari bahan-bahan yang
berasal dari buku, tesis, situs-situs internet, dan data-data penunjang
lainnya. Peneliti menggunakan studi kepustakaan untuk menambah data
dan/atau informasi yang menunjang penulisan ini.
I.5 Sistematika Penulisan
Agar penulisan ini lebih mudah untuk dipahami, maka akan disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Pada
bab ini akan dijelaskan secara garis besar dari keseluruhan penulisan
ini yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan.
Bab 2 Pembahasan
Pada bab ini akan dipaparkan dasar hukum dan analisa masalah.
Bab 3 Penutup
Pada
bab ini berisi kesimpulan dan saran penulis. Setelah menganalisa
permasalahan dengan meninjau teori-teori yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka dalam bab ini Penulis berusaha untuk merumuskan benang
merahnya ke dalam poin-poin penting berupa kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Kerangka Teori
II.1.1 Pengertian Pajak Hiburan
Pajak
Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Selain itu, Pajak
Hiburan dapat pula diartikan sebagai pungutan daerah atas
penyelenggaraan hiburan. Dalam pemungutan Pajak Hiburan terdapat
beberapa terminologi yang perlu diketahui. terminologi tersebut antara
lain:
1. Hiburan
adalah semua jenis pertunjukkan, permainan, permainan ketangkasan, dan
atas keramaian dengan nama dan bentuk apa pun, yang ditontotn atau
dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk
penggunaan fasilitas untuk berolahraga.
2. Penyelenggara
hiburan adalah orang pribadi atau badan yang bertindak baik untuk atas
namanya sendiri atau badan yang bertindak baik untuk atas namanya
sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya
dalam menyelenggarakan suatu hiburan.
3. Penonton
atau pengunjung adalah setiap orang yang menghadiri suatu hiburan untuk
melihat dan atau mendengar atau menikmatinya atau menggunakan fasilitas
yang disediakan oleh penyelenggara hiburan, kecuali penyelenggara,
karyawan, artis (para pemain), dan petugas yang menghadiri untuk
melakukan tugas pengawasan.
4. Pembayaran
adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima dalam bentuk apa
pun untuk harga pengganti yang diminta atau seharusnya diminta wajib
pajak sebagai penukar atas pemakaian dan atau pembelian jasa hiburan
serta fasilitas penunjangnya termasuk pula semua tambahan dengan nama
apa pun juga yang dilakukan oleh wajib pajak yang berkaitan langsung
dengan penyelenggaraan hiburan. Termasuk dalam pengertian pembayaran
adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima, termasuk yang akan
diterima, antara lain pembayaran yang dilakukan tidak secara tunai.
5. Tanda
masuk adalah semua tanda atua alat atau cara yang sah dengan nama dan
dalam bentuk aapa pun yang dapat digunakan untuk menonton, menggunakan
fasilitas, atau menikmati hiburan. Tanda atau alat atau cara yang sah
adalah berupa tanda masuk yang dilegalsasu oleh Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten/Kota. Termasuk tanda masuk di sini adalah tanda masuk dalam
bentuk dan dengan nama apa pun, misalnya karcis, tiket undangan, kartu
langganan, kartu anggota (membership), dan sejenisnya.
6. Harga
tanda masuk, selanjutnya disingkat HTM, adalah bayaran nilai uang yang
tercantum pada tanda masuk yang harus dibayar oleh penonton atau
pengunjung.
Objek Pajak
Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 42 bahwa:
(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran.
(2) Hiburan tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat, dan sulap;
g. permainan bilyar, golf, dan boling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan
j. pertandingan olahraga.
(3) Penyelenggaraan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah.
II.1.2 Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 43 bahwa:
(1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan.
(2) Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan hiburan.
II.1.3 Dasar pengenaan pajak
Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 44 bahwa:
(1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan.
(2) Jumlah
uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada
penerima jasa Hiburan.
II.1.4 Tarif pajak
Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 45 bahwa:
(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
(2) Khusus
untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik,
karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif pakak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
(3) Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(4) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah
II.1.5 Besaran pajak terutang
Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 46 bahwa:
(1) Besaran
pokok pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (4) dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 44.
(2) Pajak Hiburan dipungut di wilayah daerah tempat hiburan diselenggarakan.
II.2 Analisa Masalah
Pajak
merupakan sumber utama untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan
suatu negara. Secara umum, tujuan adanya pajak adalah sebagai
alat untuk memasukkan dana secara optimal ke Kas Negara berdasarkan
Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Dan Pajak daerah merupakan sumber
pendapatan daerah yang penting guna memenuhi kas daerah yang
diperuntukkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah. Serta merupakan salah satu bentuk peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Permasalahan
yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian
sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan salah
satu komponen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah belum memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara
keseluruhan. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi
subyek dan obyek pendapatan untuk mendongkrak penerimaan perpajakan di
daerah. Dalam jangka pendek, kegiatan yang paling mudah dan dapat segera
dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau
sumber pendapatan daerah yang sudah ada. Dan dalam konteks Pajak
Hiburan, Pemerintah kemudian memperluas basis Pajak Hiburan dengan
membaginya ke dalam tiga kelompok tarif Pajak Hiburan yang diperkenankan
bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menariknya. Pertama, tarif
maksimal 35% (tiga puluh lima persen), antara lain untuk pertunjukan
sirkus, akrobat, sulap, dan tontonan film. Kedua, tarif maksimal 10%
(sepuluh persen) khusus untuk hiburan kesenian rakyat dan tradisional.
Ketiga, bertarif maksimal 75% (tujuh puluh lima persen), yakni untuk
pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam,
permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa.
Selain untuk tujuan umum, pajak dapat pula digunakan oleh pemerintah sebagai alat mencapai untuk tujuan-tujuan tertentu (regulerend),
seperti membatasi dan mengurangi konsumsi barang yang berdampak negatif
secara sosial, salah satunya yaitu kenaikan tarif Pajak Hiburan untuk
tempat-tempat hiburan tertentu sebesar 75%. Kenaikan
pajak hiburan hingga 75 persen mulai 1 Januari mendatang dimaksudkan
untuk menekan tingkat kunjungan ke tempat-tempat hiburan tertentu,
seperti panti pijat, karaoke, dan sauna.
Penetapan tarif tinggi itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi
pertumbuhan tempat hiburan mahal ini sebab harga bukan penentu utama
datangnya konsumen ke tempat tersebut. Tarif ditinggikan dengan harapan
pemerintah kabupaten/kota bisa mengambil manfaat maksimal.
Kenaikan
tarif Pajak Hiburan pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ini baru
berlaku efektif pada 1 Januari 2010. Menurut Direktur Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah Departemen Keuangan Budi Sitepu, ketiga jenis hiburan
tersebut adalah hiburan mewah yang bukan tergolong kebutuhan pokok.[1]
Pajak tinggi itu ditetapkan pada jenis tempat hiburan tertentu yang
dianggap memberikan pelayanan mewah dan dinikmati masyarakat
berkecukupan. Tempat hiburan seperti panti pijat, karaoke, atau klab
malam dikenai tarif tertinggi karena dianggap jasa mewah. Hiburan
tersebut dikenai tarif tertinggi karena tingkat elastisitas terhadap
harga jual layanannya rendah. Artinya, meskipun tarif layanannya
dinaikkan, tidak akan mengurangi jumlah konsumen sebab pengguna jasanya
merupakan kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Dengan demikian,
penetapan tarif tinggi itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi
pertumbuhan tempat hiburan mahal ini sebab harga bukan penentu utama
datangnya konsumen ke tempat tersebut. Tarif ditinggikan dengan harapan
pemerintah kabupaten/kota bisa mengambil manfaat maksimal.
Contoh kasus Penghitungan Pajak Hiburan:
Pada tahun 2010, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menargetkan penerimaan cukai tembakau dan rokok dari Provinsi Jawa Timur mencapai sebesar Rp 32 triliun. Hitunglah besar penerimaan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten Jawa Timur dari pajak rokok pada tahun 2014?
Namun
dalam Menurut Tony, penentuan pajak haruslah mengajak bicara pengusaha
hiburan. Pemerintah daerah Bogor, misalnya, selama ini selalu mengajak
bicara pengusaha dalam penentuan pajak hiburan.”Bagi pengusaha hiburan,
kenaikan pajak memang bisa saja tinggal meningkatkan harga tiket. Namun,
kalau sekadar meningkatkan harga bakal berimplikasi pada animo
pengunjung wisata. Akibatnya, perolehan pajak juga pasti akan sedikit,”
ujar Tony.Pemerintah dan DPR semestinya menilik kembali perjalanan
penentuan pajak. Tahun 1993, pemerintah Orde Baru pernah menghapuskan
semua retribusi hotel dan hiburan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN TINGGALKAN COMENT KALIAN, BUT NO BASHING YAH (^_*)